Kerinci dan Sejarah PRRI

Posted on
  • Minggu, 08 April 2012
  • by
  • Evelyn Piadetra
  • in
  • Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya 20 Desember 1957,  di sebuah kota kecil di pesisir barat pantai Sumatera yang bernama Salido, berlangsung suatu sidang reuni para militer pejuang yang tergabung dalam Resimen IV Divisi Banteng Sumatera Tengah. Reuni tersebut menghasilkan dan membentuk suatu badan organisasi yang dinamai "Dewan Banteng" dengan tokoh-tokoh militer seperti Kolonel Achmad Husein, Kolonel Dahlan Jambek, Kolonel M. Simbolon dan lain-lain sebagai para atasan dan penggeraknya.

    Tidak diketahui oleh umum, apa maksud dan tujuan para pejuang militer tersebut mengadakan reuni dan membentuk suatu badan yang bernama "Dewan Banteng" itu. Namun, seseorang yang mengetahui, menceritakan bahwa sidang reuni tersebut "dihadiri" oleh "tokoh pusat" dan dianggap sebagai sesepuh atau "ninik mamak" yang berasal dari ranah Minang, yang dalam sidang itu memberikan sambutan dan petuah: "Pandai-pandai membao diri, bapijak di tanah nan sabingkah, manari di lapiak nan sahalai! " (Pandai-pandai membawa diri, berpijak di tanah yang sebungkal, menari di tikar yang sehelai!). 

    Ada apa? Apa maksud dan arti petuah yang diberikan oleh orang yang dianggap sebagai sesepuh Minangkabau itu? Ada maksud apa dengan dibentuknya "dewan militer" itu? Apa yang akan terjadi? Tidak ada yang tahu!

    Namun, pada 15 Pebruari 1958, atas prakarsa "Dewan Banteng", organisasi yang dilahirkan dari hasil reuni militer yang dikepalai oleh Letkol. Achmad Husein, Kol. Dahlan Jambek dan Kolonel Maludin Simbolon, "diproklamirkan" sebuah pemerintahan baru yang bernama "Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia" yang disingkat dengan sebutan PRRI, dengan kota Padang sebagai "ibukota negara" dan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai "Presiden PRRI". 

    Proklamasi PRRI ini, menjadi titik awal perlawanan secara terbuka terhadap kepemimpinan Presiden Sukarno dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia! Ranah Minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil, yang "tidak merasa puas" dengan kepemimpinan Bung Karno, dan membawa rakyat Minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI.

    Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air, juga timbul satu pemberontakan yang senada, perlawanan terhadap NKRI di bawah pimpinan Letkol. Ventje Sumual, dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA. Pemerintah Rakyat Semesta.

    Para tokoh dan pentolan PRRI maupun PERMESTA mendapat bantuan dan sokongan kuat dari Imperialis Amerika Serikat yang memang tidak suka atas kepemimpinan Bung Karno. AS memberi support dan bantuan apa saja untuk PRRI/PERMESTA. 

    Persenjataan-persenjataan modern dari Amerika, seperti LMG 12,7 MM, penangkis serangan udara, Bazooka, Granat-semi automatis, persenjataan Infantry, dan lain-lainl didrop dari kapal terbang pengangkut AS di hutan-hutan Sumatra untuk melengkapi persenjatan militer PRRI guna melawan Pemerintahan NKRI (Pengakuan almarhum Jenderal A.H. Nasution dalam film dokumen ABC: Riding The Tiger). 

    Disamping itu, Amerika juga memberikan pelatih-pelatih militer AS, yang berkedok sebagai "employee Caltex" yang bertugas melatih para militer pemberontak PRRI untuk melawan Pusat, dan memberikan indoktrinasi buat mengikuti kemauan dan keinginan Imperialis AS. 

    Semua persenjataan serta alat komunikasi modern ini disalurkan kepada gerombolan pemberontak melalui Singapura, yang dikendalikan dan diorganisir oleh seorang tokoh politik dan ekonomi yang terkenal Professor Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Bahkan di Pekanbaru, rakyat sering mendapati dan melihat masuknya senjata-senjata gelap dari kapal-kapal yang datang dari Singapura.

    Semenjak 15 Pebruari 1958 itu, di setiap kota di Sumatra Tengah (nama propinsi kala itu) dilangsungkan demonstrasi-demonstrasi massa dan pelajar yang diatur dan diorganisir oleh pemberontak untuk "mendukung pemerintahan baru" PRRI!

    Namun, ada satu hal yang tidak diketahui umum yang terjadi pada saat itu! Yaitu, semenjak deklarasi "Dewan Banteng", pada akhir 1957, pihak militer telah melakukan operasi dan menangkap serta menahan anggota serta  pimpinan-pimpinan organisasi berhaluan kiri, terutama PKI, sejalan dengan garis dan keinginan Pentagon Amerika yang memang anti komunis!

    Namun demikian pihak PRRI dalam hal ini tidak pernah mau mengakui bahwa mereka sebenarnya menerima dan mengikuti arahan Imperialis AS, dan menyatakan bahwa isu yang sebenarnya terjadi adalah dugaan bahwa PRRI/PERMESTA memberontak sebagai wujud protes terhadap Presiden Sukarno yang terlalu memanjakan PKI sehingga banyak kebijakan Pemerintah yang berbau ideologi PKI. Hal ini terlihat dari penyerangan PRRI/PERMESTA terhadap massa PKI di kedua propinsi tersebut di atas(dikutip dari KI 1 Oktober 2007- PRRI/PERMESTA, dialog untuk persaudaraan).
    [Pertanyaan timbul: "Kalau hanya untuk mewujudkan protes terhadap Presiden Sukarno, mengapa mesti bersekutu dengan Imperialis AS untuk menghancurkan NKRI?"]

    Akibat dari penangkapan dan penahanan para anggota dan pimpinan PKI oleh PRRI tersebut, ribuan manusia-manusia tak berdosa, mati dibunuh, diberondong oleh PRRI di tempat tahanannya! Mayat-mayat mereka  dibakar, dibulldozer, ditolak  ke dalam lobang-lobang yang telah dipersiapkan untuk kuburan massal. 

    Di setiap sudut negeri di Sumatera Tengah, di Simun, Atar, Situjuh, Gunung Sago, dan lain-lain. Di setiap pelosok dan penjuru "kampuang jo nagari" menjadi kuburan-kuburan massal orang-orang yang dituduh PKI, sementara keluarga mereka dianiaya, diperkosa! Tak heran kalau pada tahun-tahun sesudah itu timbul nyanyian Minang untuk mengingat para korban ini yang salah satu baitnya  berbunyi: ......"Lah ditembak dibaka pulo. Digiliang luluh binaso" (Barangkali ada teman-teman yang masih ingat akan keseluruhan lagu ini, mohonlah dikirimkan kepada saya. Terima kasih). 

    Karena "dugaan" bahwa Bung Karno memanjakan PKI, maka PRRI membunuh ribuan anggota PKI! Mereka tidak mau melihat sejarah dan takut akan kenyataan yang ada bahwa PKI telah tumbuh menjadi sebuah partai besar di antara 4 partai besar lainnya setelah Pemilihan Umum untuk DPR dan Konstituante di Indonesia  tahun 1955! Dan sesungguhnya, yang paling merasa ketakutan adalah Imperialis AS yang menjadi tulang punggung dan penggerak pemberontakan PRRI/Permesta!

    Kota Pekanbaru-Riau..........
    Saat itu, aku adalah seorang pelajar pada SMA Negeri, dan duduk dikelas II. Satu-satunya sekolah menengah atas negeri yang ada pada saat itu. Ada juga lain SMA, namun bersifat Swasta dan bernama SMA Setia Dharma. Sebagai seorang pelajar di sekolah, aku  menjabat sebagai Ketua Ikatan Siswa SMA kala itu. Namun, sebagai seorang pemuda, di luar sekolah, aku juga tergabung dalam organisasi massa-pemuda yaitu Pemuda Rakyat. 

    Pada petengahan bulan Pebruari 1958 itu, menurut penanggalan kalender, kami menghadapi hari raya Islam, yaitu  perayaan peringatan hari Israk dan Mikrad Nabi Muhammad SAW. Dan sebagai seorang "Ketua Pelajar", aku telah membicarakan dan membuat perencanaan  untuk pelajar SMA merayakan hari yang mulia itu pada tanggal 18 Pebruari 1958. 

    Para guru juga telah setuju dengan tanggal yang direncanakan itu, dan undangan kepada para pejabat dan guru-guru lain juga telah disampaikan. Untuk pemberi ceramah acara Isra' dan Mi'raj Nabi, telah kami undang dan disetujui oleh Bp. M.Yatim.D., Kepala Kantor Urusan Agama Islam (KUA) Pekanbaru. Semua persiapan telah dibuat, dan hanya tinggal menunggu harinya. 

    Namun, sungguh tidak dinyana, tidak diduga samasekali! Sehari sebelum acara kami langsungkan, di saat meja dan kursi telah diatur dan disusun, begitu pun mikrofon telah dipasang untuk para pembicara, dan sekedar jedah telah dipersiapkan untuk acara esok hari, tiba-tiba datang perintah dari "komandan militer" bahwa semua pelajar besok harus ikut demonstrasi mendukung PRRI, karena Letkol. Achmad Hussein dan Kolonel Dahlan Djambek akan datang dan berpidato di Pekanbaru!

    Aduh! Apa yang mesti kami perbuat? Aku benar-benar menjadi bingung. Mana yang mesti kupilih? Akan membatalkan perayaan untuk Nabi, dan ikut demonstrasi mendukung PRRI, ataukah tidak ikut berdemonstrasi dan tetap melangsungkan perayaan/peringatan Isra' dan Mi'raj Nabi, mengingat segala persiapan telah sempurna. 

    Aku menjadi ketar-ketir, apakah hal ini tidak bakal membahayakan diriku mengingat situasi dan kedudukanku sebagai seorang anggota pimpinan muda organisasi massa Pemuda Rakyat?  Kucoba berunding dengan Kepala Sekolah dan lain-lain guru, namun tiada mendapat jawaban! Akhirnya, jam pelajaran hari itu pun selesailah tanpa ada pemberitahuan ataupun perubahan acara untuk esok. Dan para pelajar pun pulang ke rumah masing-masing.

    Tanggal 18 Pebruari 1958........
    Hari itu kami melangsungkan upacara peringatan hari Isra' dan Mi'raj nabi Muhammad SAW di sekolah, yang dihadiri oleh Bapak M.Yatim D, yang selain sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Islam juga adalah anggota DPRD Pekanbaru, juga Hasyim Arsjad, seorang ulama Islam, serta para guru dan para undangan lainnya. 

    Sementara itu, di saat kami berkumpul di sekolah merayakan hari peringatan untuk Nabi, kudengar dari lain-lain Sekolah, dimulai dari SD sampai Sekolah Menengah Atas, para murid dan pelajar berbaris berbondong-bondong menuju dan mengisi lapangan di mana tokoh-tokoh PRRI akan memberikan pidatonya. Hanya sekolahku, SMA Negeri Pekanbaru beserta sebagian besar para pelajarnya yang absen! 

    Malam harinya..............
    Di rumahku, di Jalan Riau yang kemudian bertukar nama menjadi Jalan Dr. Sam Ratulangi, satu regu anggota polisi  militer datang dan menggedor rumah kami. Rumah kami diobarak-abrik, semua buku-buku pelajaranku dan arsip-arsip berserakan. Aku dan ayahku ditangkap dan dibawa oleh Militer dan ditahan di sebuah gedung yang digunakan buat olah raga yudo dan karate serta gym yang bernama Inkorba, yang terletak tidak jauh dari kantor Kodim Pekanbaru, di simpang Jalan Jawa dan Bangkinang (kala itu!). Di situ telah ada beberapa orang yang kukenal, teman-teman para pimpinan organisasi Pemuda Rakyat dan juga para Pimpinan organisasi Perbum dan Sobsi Pekanbaru. 

    Aku menjadi sadar, bahwa penangkapanku ini, bukanlah karena kami tidak mengikuti acara demonstrasi, atau karena kami merayakan Isra' dan mi'raj Nabi Muhammad, namun karena memang sudah jadwal dan rencana PRRI untuk menangkapi semua aktifis golongan kiri, guna melicinkan, membersihkan dan meluruskan jalan pemberontakan dan pengkhianatannya dalam menghancurkan NKRI!

    Beberapa hari kami ditahan di situ, kemudian kami dipindahkan pada malam hari menuju ke Padang, dan ditempatkan dalam rumah tahanan di Simpang Haru. Di situ telah ada ratusan orang yang ditahan, yang berasal dari seluruh Sumatra Tengah, termasuk dari Pekanbaru, yang ditangkap sebelum kami oleh Dewan Banteng/PRRI.

    Sementara itu, di dalam tahanan kami mendengar bisik-bisik bahwa Pemerintah NKRI telah mengirimkan kesatuan-kesatuan militer yang loyal untuk menumpas dan menghancurkan gerombolan pemberontak PRRI. Kota Pekanbaru telah dikuasai oleh "Tentara Pusat" di bawah pimpinan Letkol. Kaharudin Nasution. Begitu pun kota-kota dan tempat-tempat lain yang "dikuasai" PRRI mendapat serangan dari Militer yang loyal kepada NKRI yang tergabung dalam "Komando Operasi 17 Agustus" di bawah pimpinan Letkol. Achmad Yani, yang kemudian diteruskan oleh  Letkol. Pranoto Reksosamudro. 

    Para tahanan yang dianggap sebagai lawan bagi PRRI dipindahkan, dibawa lari dari satu tempat ke tempat lain oleh PRRI, seolah-olah seperti suatu "aset kekayaannya". Apabila tempat di mana kami ditahan, didekati oleh Kesatuan Tentara Pusat, maka para tahanan dipindahkan lagi, dilarikan!

    Para tahanan yang demikian banyak, dibagi-bagi ke beberapa tempat atau kantong-kantong PRRI, seperti Simun, Atar, Situjuh dan tempat-tempat lain. Dan ketika gerombolan PRRI terdesak, mereka membunuh dan memberondong, menembak mati  semua tahanan itu! 

    Akan diriku beserta ayah dan teman-teman lain, dari Penjara Simpang Haru Padang, dipindahkan, atau dilarikan, dari satu tempat ke tempat lain, seperti ke penjara Solok, Muara Labuh. Bahkan kami ditahan di Timbulun, di suatu bangunan usang di hutan belukar, sebuah  bekas rumah sakit tua peninggalan zaman Belanda.

    Hanya sehari semalam kami berada di sana, kemudian pihak PRRI memerintahkan kami untuk berangkat berjalan kaki di dalam hutan lebat di lereng gunung Kerinci menuju ke Sungaipenuh, melalui Tangkil, Air Putih dan Kayu Aro. Sekitar 250 orang tahanan yang dianggap muda, dianggap masih kuat, dipaksa ber'long march' menuju Kabupaten Kerinci, sedang mereka yang dianggap tua, sekitar 67 orang tinggal di bangunan tua di Timbulun itu. 

    Dalam hujan dan gelap hutan melalui jalan rintisan di pinggang gunung Kerinci yang penuh onak dan duri, becek dan berlumpur serta nyamuk, pacet dan lintah dan ular, kami dipaksa berjalan, digiring menuju ke Sungai Penuh, tanpa diberi jatah makanan! Dan setelah beberapa hari dalam perjalanan hutan, sampailah kami ke Kerinci, dan dimasukkan ke dalam penjara di Sungaipenuh! 

    Apa yang kemudian terjadi? Bagaimana aku dan 25 orang kawan-kawan setahanan bisa menjebol penjara Sungaipenuh dan lari menempuh hutan belantara Sumatra sampai ke Muko-Muko dan seterusnya ke Palembang di Sumatra Selatan? Dan apa yang terjadi sesudah itu? 

    Bagaimana ketika terjadi Peristiwa 1965 di mana Soeharto, meneruskan dan melanjutkan praktek-praktek PRRI secara global dan menyeluruh, tanpa perikemanusiaan menangkap dan menahan serta membunuh semua orang yang dituduh sebagai anggota PKI, bahkan  membunuh Presiden Soekarno dan merebut kekuasaannya, serta menjadikan NKRI sebagai anteknya Imperialis? Berapa jumlah orang-orang yang menjadi tapol di Pekanbaru semenjak 1965 dan siapa-siapakah mereka? Berapa orang yang diambil paksa malam hari dari tempat tahanan dan dibunuh? 

    Kemudian, bagaimana aku yang ditahan selama 12 tahun oleh Rezim Orde Baru di Pekanbaru, bisa "meloncat"  ke bumi Australia, meninggalkan "Riau Berdarah" dan  persada tanah air tercinta yang bersiram dan bermandi darah karena kekejaman, kebiadaban dan kebrutalan Jenderal zalim tak berperikemanusiaan?

    Semua itu akan dapat anda baca dari buku "Riau Berdarah" yang diterbitkan oleh Hasta Mitra Jakarta, yang peluncuran dan perkenalannya akan dilangsungkan di dalam  acara peringatan hari HAM Internasional pada 10 Desember 2007 di Jakarta, di mana Bapak-bapak: Dr. Asvi Warman Adam, Hilmar Farid, Ir. Stanley dan Sumargo akan memberikan sambutannya.